- Welcome To My Blog -

..:: Followers ::..

Saturday, August 7, 2010

Imperialisme Amerika Berjubah Demokrasi


"Perdamaian hakiki pada akhirnya adalah yang menghasilkan balancing kekuatan, tidak harus sejalan dengan makna keadilan."
"Kekuatan masih menjadi dasar hukum terakhir di dunia."
(Henry Kissinger)

Tidak diragukan lagi insiden 11 September 2001 lalu telah membawa dampak yang sangat fantastis dalam perputaran kebijakan dasar global politik strategis AS. Terutama perubahan esensi dalam pola politik negeri "polisi dunia" itu terhadap Negara-negara Timur Tengah secara khususnya, dan terhadap seluruh Negara dunia secara umum.

Keruntuhan gedung WTC yang dramatis, hancur luluh seolah tersapu angin topan membuat trauma mendalam dalam mayoritas rakyat AS. Kondisi ini mengakibatkan perubahan pola pikir mereka, yang mengakibatkan mengentalnya perdebatan antar faksi di dalam negeri itu sendiri. Khususnya antara faksi yang menginginkan agar AS lebih konsentrasi dalam mengurusi masalah dalam negerinya dengan kelompok yang menginginkan agar AS lebih intensif dalam mempengaruhi dunia global untuk memperkuat cakar-cakarnya di negara lain.

Insiden histories dengan segala aspeknya telah menimbulkan sikap optimistis rasional bagi politisi garis kanan AS. Karena insiden gedung WTC yang sangat fenomenal, seolah telah meruntuhkan hegemoni AS dalam bidang politik, militer dan juga ekonomi secara global. Maka mereka berharap akan terjadi perubahan total dalam strategi politik luar negeri AS. Tegasnya, politisi garis kanan AS menginginkan agar negaranya menggunakan kekuatan militer dan senjata untuk mendapatkan seluruh agenda dan tujuan politiknya di seluruh dunia.

Para politisi garis kanan juga menginginkan agar AS merubah sikap lunaknya terhadap beberapa negara tertentu, serta segera menggunakan kekuatan militer untuk menghantam semua negara yang dianggap membangkang terhadap kepentingan kebijakan politik AS. Hal itu demi kepentingan politik dan pengaruh AS di dunia. Maka menurut mereka, AS harus melakukan semua kepentingannya tanpa memperdulikan kode etik dan undang-undang internasional sekalipun, seperti masalah HAM dan kebebassan.

Dengan berbagai alasan, termasuk alasan idiologis, yang terkait langsung dengan insiden 11 September dengan beberapa unsur preseden buruknya, maka gerakan politisi AS garis kanan mempunyai beberapa prediksi radikal yang esensial, di antaranya:

  • Dalam prediksi politisi garis kanan, bahwa insiden 11 September terjadi karena sikap dan kebijakan AS yang sangat lemah terhadap musuh-musuhnya yang mengancam eksistensi Amerika.
  • Insiden 11 September memberikan peluang lebar kepada AS untuk melancarkan perang kepada beberapa negara dengan kedok terorisme internasional, yang menurutnya menjadi ancaman global. Insiden itu juga membuat semua Negara takluk bertekuk lutut di bawah pengaruh politik AS. Dalam kondisi seperti itu, membuat AS merasa percaya diri akan mendapatkan semua dan agenda politiknya tanpa hambatan berarti. Dengan hegemoni politik yang di laur batas kewajaran yang dikuasai AS, rasanya tidak mungkin mereka gagal dalam menggalang kekuatan dari para sekutunya untuk memuluskan semua rencana. Melihat hal ini salah seorang politisi AS garis kanan mengatakan, "Dengan kekuatan militer yang tanpa pesaing membuat AS ingin mencobanya. Ini berlawanan dengan kebijakan Eropa yang lebih menahan diri dalam mengembangkan persenjataan militernya. Tetapi kebijakan Eropa yang lebih lunak dalam persenjataan membuat mereka lemah di sisi ini. Namun ini sejalan dengan pemikiran intelektual mereka yang berpandangan bahwa kekuatan – pada zaman global sekarang – bukan hal yang strategis untuk berkuasa. Tetapi kalau kita perhatikan perjalan sejarah kekaisaran, sikap arogan yang berlebihan merupakan "penyakit" berbahaya yang menimpa sebuah rezim yang biasanya membawa ke tangga kejatuhannya."
  • Dalam logika politik AS, kepentingan stabilitas keamanan dan politik ekonomi strategis negerinya merupakan prioritas utama yang tidak mungkin ditukar dengan kepentingan lainnya.
  • Dalam pendangan politisi garis kanan AS, menggunakan senjata dan kekuatan militer merupakan langkah strategis untuk memperkokoh hegemoni politik luar negeri AS. Karena itu, system imperialisme dan langkah diktatoris – yang digunakan oleh beberapa negara eropa dua abad yang lalu – merupakan langkah tepat.

Akan tetapi ada apa di balik pemikiran radikal politisi AS itu? Dan mengapa mereka menyerang Irak dan ingin mengganti rezim Saddam Husein?

Alibi-alibi yang dikemukakan oleh AS terhadap dunia internasional untuk menyerang Irak sangat lemah, justru sikap kerasnya di tengah protes internasional ataupun regional dari negeri sendiri, mengindikasikan ada tujuan tertentu dibalik sikap keras itu. Sebuah tujuan yang menurut prediksi mayoritas pengamat, akan sangat menentukan bagi masa depan politik dan ekonomi AS sendiri. Dari segi politik nampaknya AS ingin menambah jangkar hegemoni politiknya dari para pesaingnya seperti Rusia, Jerman, Prancis dan China. Sementara dari sisi ekonomi, nampaknya AS tidak ingin "ketinggalan" untuk ikut "menjarah" berinvestasi dalam eksplorasi minyak Irak yang selama ini lebih didominasi oleh Rusia dan negara-negara lain. Selain itu, memang, hanya minyak Irak saja yang belum berada di bawah kekuasaan Amerika Serikat, karena negara-negara penghasil minyak lainnya seperti Arab Saudi dan Kuwait sudah berada dalam kekuasaannya.

Berikut ini beberapa indikator kuat kepentingan AS di balik serangannya ke Irak:

  • AS berusaha menggunakan momen ini untuk menekan berbagai pihak yang kurang mendukung kepentingannya dengan membentuk geo politik internasional yang sesuai dengan kebijakan AS yang mengarah kepada kepentingan politik, ekonomi dan militer negaranya.
  • Mengisi kekosongan kekuasaan pasca keruntuhan Uni Sovyet di beberapa wilayah yang sebelumnya merupakan sekutu Uni Sovyet, yang memanjang dari Asia Selatan, Asia Timur sampai wilayah Balkan dan negara-negara Timur Tengah. Terutama kekosongan idiologi negara-negara tersebut, terlebih karena adanya kekhawatiran pengisian kekosongan idiologi itu dengan munculnya idiologi Islam sebagai alternatif, yang menurut prediksi beberapa pengamat bahwa Islam telah mengalami peningkatan secara signifikan di beberapa negara yang ditinggal Uni Sovyet.
  • Menguasai kekosongan geo politik negara-negara yang kaya minyak, yang terbentang dari Asia Tengah sampai negara gurun pasir jazirah Arab. Penguasaan negara-negara itu memiliki dua target utama. Pertama, optimalisasi bahan-bahan produksinya, terutama minyak sebagai cadangan dan antisipasi melemahnya produksi minyak negara paman syam tersebut. Kedua, optimalisasi penguasaan pengaruh politik strategis internasional AS dengan menggunakan isu minyak di negara-negara bekas kekuasaan Uni Sovyet.
  • Serangan terhadap Irak akan memberikan peluang besar bagi AS untuk menata ulang wilayah Timur Tengah, yang akan memberi peluang luas bagi berjalannya agenda zionisme Israel dalam menghadapi konflik dengan Palestina. Hal ini sejalan dengan kebijakan politik para politisi radikal garis kanan AS yang sangat mendukung Israel.

Menyikapi situasi itu salah seorang mantan kepala intelijen Israel berpendapat, "Sudah merupakan kepastian bahwa rezim siapapun yang akan berkuasa di Irak pasca serangan AS ke sana, merupakan rezim yang berbentuk "tang" yang akan mencabuti semua ancaman di Timur Tengah terhadap semua agenda Amerika-Israel. Dengan demikian maka serangan AS ke Irak akan menyelematkan muka Israel dari krisis negara tersebut pasca aksi intifadhoh dalam dua tahun terakhir ini."

  • Menekan dan menahan kemajuan negara-negara tersebut, serta menekan pergerakan Islam yang sedang berkembang di negara-negara tadi terutama setelah meletusnya aksi intifadhoh di Palestina.

Khusus untuk masalah stategi baru pemerintahan AS tentang sikapnya terhadap masalah Timur Tengah, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Amerika mengeluarkan hasil kajiannya dengan tema "Amerika dan Dunia Islam: Krisis Hubungan Dua Kebijakan" yang diajukan oleh DR Bay Deploy Singer. Menurutnya, sebaiknya AS harus melakukan demokratisasi di negara-negara Timur Tengah untuk meminimalisir sikap kontra masyarakat di wilayah tersebut terhadap kebijakan negara paman syam itu. Pada waktu bersamaan, AS harus pandai menjaga berbagai kepentingan di negara-negara Timur Tengah untuk mengantisipasi kemungkinan naiknya kekuatan politik baru negara-negara Arab terutama kekuatan Islam yang kontra AS.

Hal senada diungkapkan oleh Richard Hass, Direktur Perencanaan Politik di Departmen Luar Negeri AS, yang menekankan bahwa AS harus melakukan demokratisasi di wilayah Timur Tengah.

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa AS mendengungkan demokrasi di Timur Tengah akhir-akhir ini? Padahal hubungan antara negara itu dengan negara-negara Arab sudah berlangsung puluhan tahun? Mengapa AS tidak mempersoalkannya dari dahulu? Apakah pada waktu yang lalu system pemerintahan di Timur Tengah menguntungkannya dan sekarang sebaliknya?

Yang jelas nampaknya perubahan kebijakan dengan alibi demokratisasi adalah karena adanya sikap anti politik AS dan kebijakannya yang muncul dari umat Islam secara umum. Juga sebagai tindakan antisipasi AS akan berubahnya sikap anti dan kontra tersebut menjadi aksi lebih besar, berupa aksi politik yang akan mengancam kepentingan AS di negara-negara berpenduduk muslim.

Sikap khawatir AS itu memang rasional, karena menurut hasil survey dan polling yang dilakukan oleh www.aljazeera.net pada tanggal 5/12/2002, terbukti bahwa citra AS memburuk di hampir seluruh dunia terutama di negara yang berpenduduk muslim. Dalam polling itu diperoleh kesimpulan sekitar 55% dari rakyat Turki misalnya mempunyai penilaian negatif terhadap AS. Bahkan di beberapa negara lain prosentasinya lebih tinggi lagi. Di Jordania 75%, di Nigeria 77% dan di Uzbekistan sekitar 85% yang mempunyai penilaian negatif terhadap kebijakan politik AS.
Pada akhirnya, kebijakan demokratisasi merupakan kebijakan yang tidak populis yang diterapkan oleh AS. Meskipun demikian demokratisasi di Timur Tengah akan membawa dampak positif bagi kepentingan AS sendiri. Minimal hal itu bisa kita lihat dari beberapa point berikut ini:

  • Memaksimalkan peranan politik AS untuk melancarkan intervensi langsung terhadap wilayah Timur Tengah, yang mereka mulai dengan menyerang Irak. Setelah itu mereka akan berusaha untuk merubah citranya di hadapan rakyat muslim Timur Tengah. Karena akhir-akhir ini umat Islam berpandangan bahwa AS sedang melakukan bentuk imperialisme dan kolonialisme baru yang akan mengancam perdamaian dunia.
  • Melancarkan intervensi langsung dalam negeri di negara-negara Timur Tengah untuk mempengaruhi pola fikir generasi muda umat Islam, agar bisa bertoleransi dengan kepentingan AS. Terutama dengan isu terorisme internasional, yang dalam hal ini banyak difahami oleh kalangan Islam sebagai "terorisme Islam".
  • Mengcounter pandangan dari kalangan Islam yang berpendapat bahwa serangan 11 September hanyalah rekayasa busuk AS untuk menghancurkan perkembangan Islam, serta menekan umat Islam dan negara-negara Timur Tengah.
  • Memberikan kesempatan luar kepada politisi Timur Tengah yang beraliran liberal untuk mengcounter gerakan Islam terutama gema intifadhoh yang mampu menggerakan umat Islam dunia, tanpa kecuali umat Islam AS. (andin)

0 comments: